Para reformis di era progresif, pada tahun 1890-an sampai tahun 1920-an, menggambarkan pekerjaan rumah atau PR sebagai 'dosa' karena membuat anak-anak kehilangan waktu bermain mereka. Dewasa ini, menurut Gerald K LeTendre, profesor pendidikan di Universitas Pennsylvania, banyak kritikus menyuarakan kekhawatiran yang sama.
Namun, Gerald mengatakan, ada banyak orang tua merasa bahwa sejak awal anak-anak perlu mengerjakan pekerjaan rumah jika mereka ingin berhasil dalam budaya akademik yang semakin kompetitif. Para pengelola sekolah dan membuat kebijakan juga sudah memikirkan hal ini, mereka mengusulkan berbagai kebijakan tentang pekerjaan rumah.
Lantas, apakah pekerjaan rumah dapat membantu, atau sebaliknya justru membebani anak?
Selama 10 tahun terakhir, Gerald dan rekan penelitiannya mempelajari pola internasional dalam pekerjaan rumah menggunakan basis data dari Trends in Mathematics and Science Study (TIMSS).
TIMSS adalah kumpulan data yang memungkinkan kita membandingkan banyaknya pekerjaan rumah yang diberika dan yang dikerjakan di sejumlah negara.
Gerald mengatakan, seandainya kita mundur dari perdebatan panas tentang pekerjaan rumah, lalu melihat bagaimana PR diterapkan diseluruh dunia, maka beban pekerjaan rumah terbesar lebih banyak diberikan di negara-negara dengan pendapatan rendah dan kesenjangan sosial yang lebih tinggi.
Apa pekerjaan rumah berdampak pada keberhasilan akademik? Gerald mengajak kita untuk melihat tren pekerjaan rumah secara global.
Oekerjaan rumah adalah fenomena global, pelajar dari 59 negara yang berpartisipasi pada TIMSS 2007 melaporkan mendapat pekerjaan rumah. Di seluruh dunia, hanya kurang dari 7% siswa kelas empat mengatakan bahwa mereka tidak mengerjakan PR.
Data dari TIMSS juga menunjukkan variasi yang ekstrem.
Di beberapa negara, misalnya Aljazair, Kuwait, dan Maroko, lebih dari satu dari lima siswa kelas empat melaporkan tingkat PR yang tinggi. Di jepang, kurang dari 3% siswa mengindikasikan bahwa mereka mengerjakan pekerjaan rumah lebih dari 4 jam di malam hari di waktu normal sekolah.
Data dari TIMSS juga menghilangkan beberapa stereotip umum. Misalnya, di Asia Timur, Hong Kong, Taiwan, dan Jepang, negara-negara dengan peringkat pencapaian rata-rata matematika teratas berdasarkan data TIMSS, melaporkan tingkat pekerjaan rumah berat di bawah rata-rata internasional.
Di Belanda, satu dari lima siswa kelas 4 melapor tidak mengerjakan PR di malam hari setelah sekolah. Kendati demikian, Belanda adalah negara yang masuk daftar sepuluh besar rata-rata nilai matematika pada 2007. Jadi, apakah pekerjaan rumah berkaitan dengan keberhasilan akademik?
Gerald mengatakan, diseluruh dunia, PR tidak terkait dengan tingkat prestasi akademik nasional yang tinggi. Namun, menurutnya, data TIMSS tidak dapat digunakan untuk menentukan apakah pekerjaan rumah sebetulnya membantu atau merugikan kinerja akademik secara keseluruhan.
"Kami menemukan bahwa beban pekerjaan rumah tertinggi berhubungan dengan negara-negara yang memiliki pendapatan lebih rendah dan tingkat ketimpangan sosial yang lebih tinggi."
Post a Comment