Gerhana Matahari Total (GMT) nyatanya tak hanya sekedar fenonema alam
biasa. Ada dampak-dampak lainnya yang berpotensi terjadi saat kejadian
ini berlangsung.
Dalam beberapa penjelasan, sebuah kondisi di mana posisi Bulan terletak
di antara Bumi dan Matahari dan mampu menutup sebagaian atau seluruh
cahaya Matahari, itulah fenomena Gerhana Matahari. Sementara ketika
puncak gerhana piringan Matahari tertutup sepenuhnya oleh Bulan, maka
itu disebut Gerhana Matahari Total.
Hal paling jelas dari fenomena GMT tentu saja 'menyulap' langit menjadi
gelap layaknya malam hari. Tak hanya itu, mantan Kepala Observatorium
Bosscha, Moedji Raharto menjelaskan dampak potensial dari GMT.
Dosen astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB) ini memaparkan sedikit persamaan antara Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan, yaitu sama-sama menyebabkan gaya pasang surut maksimum.
Ia menjelaskan, siklus Bulan dan gaya tariknya terhadap gravitasi sangat kuat. "Hal ini bisa memicu gempa, apalagi untuk daerah-daerah yang rawan mengalami patahan," ungkap Moedji.
Dosen astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB) ini memaparkan sedikit persamaan antara Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan, yaitu sama-sama menyebabkan gaya pasang surut maksimum.
Ia menjelaskan, siklus Bulan dan gaya tariknya terhadap gravitasi sangat kuat. "Hal ini bisa memicu gempa, apalagi untuk daerah-daerah yang rawan mengalami patahan," ungkap Moedji.
Moedji tidak bisa memprediksi seberapa besar kekuatan gempa jika
benar-benar terjadi, sebab selama ini belum ada dampak yang kentara
mengenai gempa yang diakibatkan oleh gerhana.
Ia menambahkan, "tapi pasang surut yang kuat ini memang sudah seharusnya terjadi."
Selain gempa, Moedji menyatakan setiap menjelang Gerhana Matahari akan menimbulkan angin semilir dan suhu lebih rendah dari biasanya di kawasan yang tertutup Bulan.
Hal serupa juga dituturkan oleh Rhorom Priyatikanto, peneliti dari pusat ilmu antariksa di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). "Saat gerhana, sebagaian daerah di permukaan Bumi itu tertutup, sehingga suhunya turun," ungkap Rhorom di kesempatan yang berbeda.
Ia menyambung, "kita akan merasakan angin gerhananya dulu sebelum menyaksikan GMT itu sendiri. Yang jelas, angin itu bukan angin badai melainkan angin sepoi-sepoi saja. Hal ini memang selalu terjadi karena ada perbedaan temperatur."
Terkait dengan hembusan angin yang menjadi 'pembuka' fenomena GMT, Rhorom mengaku tim peneliti masih dalam proses penelitian pengaruh yang terjadi di lapisan atmosfer Bumi yang bernama ionosfer.
Diketahui lapisan ionosfer selama ini digunakan sebagai komunikasi radio, HandyTalkie, dan lain-lain.
"Pada lapisan ionosfer berpotensi mengalami gangguan, tapi sifatnya minor alias tidak dirasakan oleh semua orang. Contoh gangguannya itu sinyal jadi jelek namun hanya berlangsung selama beberapa menit saja," tutur Rhorom.
Pria yang berdomisili di Bandung ini kemudian menekankan, sinyal ponsel cenderung tidak akan alami gangguan.
GMT yang sedang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia akan berlangsung pada 9 Maret 2016 esok. Fenomena langka ini, menurut Rhorom, hanya akan terlihat di kawasan Nusantara dan lautan Pasifik.
Sementara Gerhana Sebagian bisa disaksikan di sejumlah negara tetangga seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Australia.
Ia menambahkan, "tapi pasang surut yang kuat ini memang sudah seharusnya terjadi."
Selain gempa, Moedji menyatakan setiap menjelang Gerhana Matahari akan menimbulkan angin semilir dan suhu lebih rendah dari biasanya di kawasan yang tertutup Bulan.
Hal serupa juga dituturkan oleh Rhorom Priyatikanto, peneliti dari pusat ilmu antariksa di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). "Saat gerhana, sebagaian daerah di permukaan Bumi itu tertutup, sehingga suhunya turun," ungkap Rhorom di kesempatan yang berbeda.
Ia menyambung, "kita akan merasakan angin gerhananya dulu sebelum menyaksikan GMT itu sendiri. Yang jelas, angin itu bukan angin badai melainkan angin sepoi-sepoi saja. Hal ini memang selalu terjadi karena ada perbedaan temperatur."
Terkait dengan hembusan angin yang menjadi 'pembuka' fenomena GMT, Rhorom mengaku tim peneliti masih dalam proses penelitian pengaruh yang terjadi di lapisan atmosfer Bumi yang bernama ionosfer.
Diketahui lapisan ionosfer selama ini digunakan sebagai komunikasi radio, HandyTalkie, dan lain-lain.
"Pada lapisan ionosfer berpotensi mengalami gangguan, tapi sifatnya minor alias tidak dirasakan oleh semua orang. Contoh gangguannya itu sinyal jadi jelek namun hanya berlangsung selama beberapa menit saja," tutur Rhorom.
Pria yang berdomisili di Bandung ini kemudian menekankan, sinyal ponsel cenderung tidak akan alami gangguan.
GMT yang sedang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia akan berlangsung pada 9 Maret 2016 esok. Fenomena langka ini, menurut Rhorom, hanya akan terlihat di kawasan Nusantara dan lautan Pasifik.
Sementara Gerhana Sebagian bisa disaksikan di sejumlah negara tetangga seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Australia.
Post a Comment