Perkembangan zaman dan era globalisasi menimbulkan
banyak perubahan, terutama terkait dengan pola pikir perempuan usia
produktif tentang pernikahan. Di beberapa negara maju, perempuan lebih
memilih melajang atau berpasangan tanpa pernikahan, seperti yang terjadi
di Amerika Serikat.
Dalam sebuah survei yang dilakukan pada 2014, jumlah penduduk usia produktif di Amerika Serikat yang memilih untuk tidak menikah semakin bertumbuh hingga menjadi 25 persen. Kebanyakan mereka mengaku tidak siap untuk hidup dalam komitmen atau merasa terlalu muda untuk menikah.
Begitu pula yang terjadi di Jepang, jumlah wanita yang tetap menginginkan hidup melajang terus bertambah hingga mencapai 28,8 persen. Survei tersebut dilakukan pada 2015 lalu.
Bagaimana dengan Indonesia? Ternyata data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan hal berbeda.
Berdasarkan data persentase rumah tangga menurut daerah tempat tinggal yang dihimpun pada 2009 hingga 2013, jumlah perempuan di usia produktif yang menikah tetap tinggi.
Usia produktif didefinisikan antara 18 hingga 44 tahun. Dalam data tersebut, jumlah perempuan usia produktif yang menikah dari 2009 hingga 2013 terus bertambah, baik yang menetap di perkotaan ataupun di pedesaan.
Pada 2013, jumlah usia di bawah 24 tahun yang lajang atau belum menikah sebesar 90,35 persen dari total populasi, sedangkan yang sudah menikah hanya berjumlah 5,61 persen.
Namun pada kategori usia 24 hingga 44 tahun, jumlah wanita lajang menipis tajam menjadi 17,13 persen. Di sisi lain, jumlah wanita menikah di kategori usia ini mencapai 26,73 persen, persentase tertinggi dibandingkan kategori usia lainnya.
Tren wanita Indonesia menikah di usia produktif dari 2009 hingga 2013 mengalami variasi dengan kecenderungan naik, rata-rata bertambah 1,54 persen setiap tahunnya.
Dalam sebuah survei yang dilakukan pada 2014, jumlah penduduk usia produktif di Amerika Serikat yang memilih untuk tidak menikah semakin bertumbuh hingga menjadi 25 persen. Kebanyakan mereka mengaku tidak siap untuk hidup dalam komitmen atau merasa terlalu muda untuk menikah.
Begitu pula yang terjadi di Jepang, jumlah wanita yang tetap menginginkan hidup melajang terus bertambah hingga mencapai 28,8 persen. Survei tersebut dilakukan pada 2015 lalu.
Bagaimana dengan Indonesia? Ternyata data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan hal berbeda.
Berdasarkan data persentase rumah tangga menurut daerah tempat tinggal yang dihimpun pada 2009 hingga 2013, jumlah perempuan di usia produktif yang menikah tetap tinggi.
Usia produktif didefinisikan antara 18 hingga 44 tahun. Dalam data tersebut, jumlah perempuan usia produktif yang menikah dari 2009 hingga 2013 terus bertambah, baik yang menetap di perkotaan ataupun di pedesaan.
Pada 2013, jumlah usia di bawah 24 tahun yang lajang atau belum menikah sebesar 90,35 persen dari total populasi, sedangkan yang sudah menikah hanya berjumlah 5,61 persen.
Namun pada kategori usia 24 hingga 44 tahun, jumlah wanita lajang menipis tajam menjadi 17,13 persen. Di sisi lain, jumlah wanita menikah di kategori usia ini mencapai 26,73 persen, persentase tertinggi dibandingkan kategori usia lainnya.
Tren wanita Indonesia menikah di usia produktif dari 2009 hingga 2013 mengalami variasi dengan kecenderungan naik, rata-rata bertambah 1,54 persen setiap tahunnya.
Alasan tren pernikahan di Indonesia tetap tinggi meskipun terjadi perubahan di negara lainya di dunia. Di Indonesia perempuan akan selalu dikaitkan dengan budaya yang hidup dalam masyarakat lokal, entah itu perkotaan ataupun pedesaan.
Bukan hanya pandangan masyarakat yang mempengaruhi status perkawinan dari seorang perempuan Indonesia. Agama juga ikut mempengaruhi. Pun dengan budaya suku tertentu seperti Batak,
dimana keberlangsungan marga dipengaruhi keberadaan keturunan.
Hal ini yang menjadikan pernikahan menjadi sebuah tuntutan sosial-kultur
sehingga membuat para orang tua yang memiliki anak lajang untuk
'mewanti-wanti', bahkan sampai mencarikan pasangan bagi sang anak.
Sedangkan dari sudut pandang perempuan berpendapat bahwa menikah akan memberikan keistimewaan secara strata sosial atau social prestige, bahwa perempuan tersebut memiliki seseorang yang dapat menjamin kehidupannya.
Sedangkan dari sudut pandang perempuan berpendapat bahwa menikah akan memberikan keistimewaan secara strata sosial atau social prestige, bahwa perempuan tersebut memiliki seseorang yang dapat menjamin kehidupannya.
Post a Comment